Kesadaran
Mendengar cerita sahabatku yang merasa begitu
kehilangan, begitu merasa sakit, dan begitu menginginkan kembali. Seseorang yang
telah disakiti dan mencoba pergi, seperti yang pernah kulakukan dan kualami. Aku
mulai bingung akan perasaan yang ada di dalam diriku. Mulai bimbang pada titik
tengah yang mulai ku jalani saat ini. Aku kembali menatap dia yang berada jauh
di belakangku. Menatap dia yang tak lagi melihat ke arahku. Begitu sakit ketika
aku hanya mampu melihatnya dari kejauhan tanpa bisa meraba raga yang lalu
menyayangiku. Raga yang begitu berarti dan semuanya baru kusadari. Begitu menginginkan
dan merindukan kembali dirinya. Namun aku merasa semuanya tidak mungkin terjadi
kembali. Ketika aku mencerna semua kata yang terlontar kemarin. Ketika aku
menerka bahwa dia tidak lagi bahagia bersamaku, dan ketika mereka mulai
mendekat padanya.
Sedikit sayatan yang tiap hari bertambah banyak karena rasa yang tak terlontarkan. Perihnya sayatan ketika menyadaridia tak lagi membutuhkanku, sedangkan aku begitu membutuhkan dia. Kesadaran bahwa dia bisa berdiridan berlari kencang tanpa genggaman tanganku, sedangkan aku tak mampu. Kenyataan yang tersodor di depan muka bahwa dia lebih lebar melepas tawanya bersama mereka disbanding denganku, sedangkan aku hanya melepas tawa palsu.
Mencoba untuk menerima apa yang telah menimpa. Mencoba menyembuhkan sayatan. Namun waktu kembali menghancurkan semua keegoisan yang ku bangun untuk menghapusnya. Waktu menyungkurkan aku yang mulai berada di tengah tameng yang ku bangun. Mungkin memang benar,aku harus mencobanya untuk terakhir kali, atau melepaskannya dengan terpaksa. Hanya ada dua pilihan yang harus dipilih untuk memperjelasnya.
Sedikit sayatan yang tiap hari bertambah banyak karena rasa yang tak terlontarkan. Perihnya sayatan ketika menyadaridia tak lagi membutuhkanku, sedangkan aku begitu membutuhkan dia. Kesadaran bahwa dia bisa berdiridan berlari kencang tanpa genggaman tanganku, sedangkan aku tak mampu. Kenyataan yang tersodor di depan muka bahwa dia lebih lebar melepas tawanya bersama mereka disbanding denganku, sedangkan aku hanya melepas tawa palsu.
Mencoba untuk menerima apa yang telah menimpa. Mencoba menyembuhkan sayatan. Namun waktu kembali menghancurkan semua keegoisan yang ku bangun untuk menghapusnya. Waktu menyungkurkan aku yang mulai berada di tengah tameng yang ku bangun. Mungkin memang benar,aku harus mencobanya untuk terakhir kali, atau melepaskannya dengan terpaksa. Hanya ada dua pilihan yang harus dipilih untuk memperjelasnya.