Subjektif dan Tidak Seimbang [Sudah Biasa]




Tidak terlalu kaget jika menemui sebuah peristiwa ketidakadilan atau dekskriminasi kelompok “borjuis” terhadap kelompok “proletan” di negeri ini. Kelompok yang memiliki jabatan, kekuasaan, atau derajat tertinggi dengan lantang menunjukan keberpihakannya kepada individu yang dianggapnya ”sepaham”. Pihak tersudut akan semakin sesak dengan desakan yang dilakukan secara sangat halus. Sepertinya sudah tidak ada rasa adil dan persamaan kepentingan pada sesama manusia. Mungkin yang dianggap manusia hanya mereka yang terlihat karena berada pada posisi tertinggi, sedangkan yang berada di tengah atau bawah hanya seperti makhluk halus yang tidak tampak namun dirasakan keberadaannya. Makhluk halus yang tidak akan pernah tampak dengan kasat mata, namun suaranya dapat didengar dan keberadaannya dapat dimengerti. Hanya sebatas itu saja, karena makhluk itu tidak memiliki HAK untuk dihargai dan diakui sumbangsihnya. Terlepas dari itu, dia hanya sosok astral dan tidak untuk diapresiasi usahanya.
Kehidupan sosial disebuah kampus ternyata menjadi bagian dari kesubjektifan yang ada. Lingkungan kehidupan dengan beberapa aspek yang menyusunnya terbagi menjadi bagian-bagian. Bagian yang memiliki posisi lebih tinggi akan berkuasa dan menjadi pusat segala tindak laku. Secara otomatis muncul posisi rendah disaat terdapat posisi tinggi. Strata sosial yang sengaja dibuat sendiri tanpa ada perundingan dan kesepakatan sebelumnya. Pihak tertinggi membuat dan menjadikan hal tersebut sebuah hukum yang harus ditaati dan haram untuk dilanggar tanpa adanya sebuah “kesepakatan”.
Miris sekali ketika seorang mahasiswa harus berusaha menunjukan keberadaannya dengan menonjolkan dirinya layaknya “penjilat”. Padahal kemampuan dan intelektualnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Hanya saja masalah kemalasan dan kurang beruntung saja. Tapi, semua tidak menjadi alasan yang kuat untuk mengubah persepsi, karena sudah tertanam dengan sifat permanen dan tidak dapat diubah oleh apapun. Usaha yang dilakukan hanya akan mendapat balasan “kita apresiasi saja, dia ingin menunjukan dirinya aktif”. Begitukah harusnya sebuah apresiasi?
Kesubjektifan juga menutup segala pandangan benar sehingga menjadikan pandangan anda SALAH BESAR. Membayangkan betapa malunya anda ketika mengetahui siapa yang sebenarnya yang mendominasi dan yang menjadi pengikut saja.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Adalah...

Aku adalah
ucapan yang akan selalu memuji, disaat banyak ucapan menghujatmu
Aku adalah
lampu yang akan memberi cahaya, disaat lampu lain padam untukmu
Aku adalah
tangan yang akan merengkuhmu, disaat tangan lain mendorongmu hingga tersungkur
Aku adalah
telinga yang tidak lelah mendengar keluh kesahmu, disaat telinga lain tuli untukmu
Aku adalah
orang yang akan mengeja doa, disaat orang lain mengejekmu
Aku adalah
orang yang akan tetap berdiri di ambang pintu,
menunggu kamu mengalihkan pandang,
kemudian, berjalan menuju ke arahku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Pemaaman Lintas Budaya


BENTUK ADAPTASI BUDAYA ISLAM TERHADAP BUDAYA HINDU-BUDHA PADA TRADISI SLAMETAN DALAM BUDAYA MASYARAKAT JAWA
Ika Kharizma Putri Rahayu
NIM.115110701111004


ABSTRAK
                                             

Pulau jawa adalah pusat kerajaan Hindu-Budha yang tersohor di Indonesia pada zaman dahulu. Keberadaan kerajaan-kerajaan besar pada masa lampau membawa dampak budaya yang sangat besar. Budaya Hindu-Budha sangat melekat pada darah masyarakat jawa. Kerekatan budaya Hindu-Budha tampak pada karakteristik masyarakat jawa. Walaupun sebagian besar masyarakat jawa memeluk agama islam namun mereka masih percaya kepada kekuatan lain selain Allah SWT dan melakukan kegiatan slametan. Kegiatan slametan sangatlah bertolak belakang dengan ajaran islam sesungguhnya yang melarang manusia memberikan sesaji. Masyarakat dahulu kala sebagian besar memeluk agama Hindu atau Budha. Wali songo melakukan persebaran Islam secara halus dengan tidak menghilangkan tradisi yang telah melekat di masyarakat Jawa. Penyebaran Islam secara halus membuat tercampurnya unsur-unsur budaya Hindu-budha pada ajaran Islam yang disampaikan. Hingga sekarang sebagian besar masyarakat jawa masih melestarikan tradisi slametan dalam kehidupan sehari-hari.

Kata kunci: budaya, Islam, Hindu, slametan, Jawa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Manusia dan Kebudayaan Indonesia



KESENIAN KUDA LUMPING WARISAN BUDAYA JAWA TIMUR SEBAGAI CERMINAN MISTISISME MASYARAKAT JAWA
Ika Kharizma Putri Rahayu
115110701111004

Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Namun, penyebarang penduduknya masih belum merata karena pusat penyebaran penduduk berada di pulau Jawa. Pulau Jawa memiliki luas yang lebih kecil jika dibandingkan dengan pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.  Walaupun luasnya yang tidak seberapa, namun sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di pulau Jawa. Pulau Jawa dibagi menjadi enam propinsi, salah satunya adalah ibu kota negara Indonesia. Pusat pemerintahan yang ada di pulau jawa menjadikan pulau jawa dihuni sebagian besar penduduk di Indonesia. Pulau jawa memiliki banyak suku bangsa di dalamnya seperti suku sunda, suku jawa, dan suku madura. Suku bangsa yang mendominasi di pulau Jawa adalah suku Jawa. Suku Jawa adalah suku bangsa Indonesia yang paling banyak jumlahnya, menempati seluruh daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Suku bangsa Jawa menggunakan bahasa Jawa secara keseluruhan, hanya saja terdapat perbedaan dialek di daerah tertentu.
Suku jawa atau biasa disebut dengan masyarakat jawa sangat menghormati dan menjunjung tinggi warisan leluhurnya. Warisan leluhur masyarakat jawa seperti nilai kesantunan, hukum adat, dan segala kebudayaan yang ada. Nilai kesantunan dalam masyarakat jawa sangat tersistem sebagaimana adat istiadat yang berlaku di masyarakat jawa. Nilai kesantunan masayarakat jawa tercermin pada cara bertutur dan bertindak. Cara bertutur dan bertindak masyarakat jawa sangat berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia. Kelembutan dan kesopanan mendominasi dalam cara bertutur dan bersikap masyarakat jawa. Nilai kesantunan dan adat istiadat masyarakat jawa tersusun secara tidak tertulis atau tidak ada kitab yang mencakupnya. Walaupun demikian, masyarakat jawa sangat memahami dan menjunjung tinggi nilai kesantunannya. Masyarakat jawa sebagian besar memahami aturan-aturan yang diwariskan oleh leluhurnya. Aturan-aturan tersebut seperti larangan-larangan yang berkaitan dengan tindakan dan tuturan, serta penanggalan jawa yang sangat berpengaruh di kehidupan masyarakat jawa.
Masyarakat Jawa sebagian besar memeluk agama islam. Pemeluk agama Islam di kalangan masyarakat Jawa dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan Islam santri dan golongan Islam kejawen. Golongan Islam santri adalah golongan yang menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam dengan syariat-syariatnya. Golongan Islam kejawen adalah golongan yang percaya pada ajaran Islam, tetapi tidak patuh menjalankan syariat Islam dan masih percaya kepada kekuatan lain. Sebagian besar masyarakat Jawa masuk kedalam golongan Islam kejawen. Hal tersebut dilihat dari banyaknya masyarakat Jawa yang masih mempercayai kekuatan lain selain Allah SWT. Golongan Islam kejawen muncul karena pengaruh kepercayaan yang dianut nenek moyang masayrakat jawa. Nenek moyang masyarakat jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang menyembah benda-benda mati yang ada di alam semesta. Masyarakat Jawa masih sangat percaya pada hal gaib atau kekuatan lain seperti makhluk-makhluk halus, hari baik atau naas, hari kelahiran atau weton, dan benda-benda pusaka.
Mistisisme yang dianut oleh masyarakat jawa sangat mudah ditemui dalam kehidupan mereka. Mistisisme yang ada dalam masyarakat jawa antara lain kepercayaan terhadap kekuatan gaib, penanggalan jawa, dan benda-benda pusaka. Kepercayaan masyarakat jawa terhadap kekuatan gaib ditunjukan dengan penghormatan terhadap leluhur yang selalu memberikan kebaikan jika dipuja dengan cara melakukan ritual-ritual adat. Penanggalan jawa yang dimiliki oleh masyarakat jawa juga tidak luput dari unsur mistisisme. Penanggalan yang ada dalan kalender jawa mencakup hari kelahira, hari baik, dan hari buruk yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat jawa. Benda pusaka yang sanagt khas dalam masyarakat jawa adalah keris. Keris merupakan besi berliku yang sangat indah sebagai simbol kekuatan. Keris oleh masyarakat jawa tidak hanya dipandang sebagai perhiasan laki-laki, namun memiliki kekuatan gaib di dalamnya.
Kesenian tari kuda lumping adalah sebuah seni tari yang dimainkan dengan menggunakan peralatan berupa kuda tiruan yang dibuat dari anyaman bambu. Dilihat ritmis, tarian kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran jaman dulu ,yaitu sebuah pasukan kavaleri berkuda. Hal tersebut dapat dilihat dari gerakan seni tari kuda lumping yang dinamis, ritmis, dan agresif seperti gerakan pasukan berkuda ditengah medan peperangan.
Kuda Lumping konon katanya adalah bentuk dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping adalah menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Kesenian tari kuda lumping ini lebih populer didaerah Jawa Timur khususnya Malang, Blitar, Tulungagung dan sekitarnya. Biasanya kuda lumping ini ditampilkan dalam acara tertentu.
Kuda lumping merupakan kesenian Jawa yang penuh dengan unsur mistis di dalamnya. Penari yang mengikuti tarian dengan menggunakan kuda dari bambu akan menjadi kerasukan jin yang di undang oleh sang pawang. Penari akan terus menari tanpa kesadaran mengikuti irama musik sesuai karakter jin yang telah masuk kedalam raga penari. Tanpa kesadaran penari dapat melakukan aksi akrobatik seperti memakan pecahan kaca, mencambuk dan lainnya.  Ada pula penari dengan karakter galak yang mengejar penonton untuk di ajak menari bersamanya. Mistisisme tidak hanya muncul dalam kegaitan pertunjukan saja, namun sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Secara umum tari kuda lumping dikenal memiliki empat fragmen antara lain dua golongan tari buto lawas, senterewe dan pegon putri. Segmen buto lawas inilah biasanya penari akan mulai kesurupan dan bahkan para penontonnya sekalian. Tari buto lawas ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari empat hingga enam orang penari.
Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Budaya tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini.  Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendudukungnya Manusia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Bentuk Adaptasi Budaya dalam Masyarakat



2.1 Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sering disebut dengan peradaban, mengandung pengertian yang luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masayarakat (Taylor dalam Sulaeman, 1995:10). Talcott Parsons dalam Alfian (1985:66) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem menyeluruh yang terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian arti pada laku ujaran, laku ritual, dan berbagai jenis laku atau tindakan lain dari sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antar satu dengan yang lain. Unsur terkecil dari sistem ini, yang biasanya dinamakan sistem budaya, adalah simbol yang memiliki arti bagi orang-orang penggunanya. Sistem budaya (cultural system) merupakan wujud abstrak dari kebudayaan berupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masayarakat. Gagasan yang ada selalu berkaitan dan menjadi suatu sistem. Hartoko dkk. (2001:7) menyatakan bahwa kebudayaan adalah hasil dari pengungkapan diri manusia kedalam materi sejauh diterima dan dimiliki oleh suatu masyarakat dan menjadi warisannya.
Fischer (1980:19) menyatakan bahwa faktor terbentuknya sebuah kebudayaan ada tiga, yaitu geografis, induk bangsa, dan kontak atara bangsa-bangsa dengan berbagai kebudayaan. Faktor geografis merupakan pengaruh wilayah suatu masayarakat yang mendalaminya. Keadaan geografis daerah pegunungan akan berdampak pada budaya masayarakat sekitarnya dalam bercocok tanam, bangunan rumah, dan adat-istiadat lainnya. Faktor induk bangsa juga salah satu dari ketiga faktor yang ada. Induk bangsa merupakan leluhur atau nenek moyang yang banyak ditemui menyebabkan sebuah adat di masayarakat seperti cara ritual selamatan desa. Faktor kontak antara bangsa-bangsa dengan berbagai kebudayaan seperti halnya penjajahan atau perkawinan antar individu yang berbeda kebudayaannya.
     


2.2 Bentuk Adaptasi Budaya dalam masyarakat
Secara alamiah, masyarakat dan kebudayaan akan selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Rudito (1991:3) menyatakan bahwa perubahan dibagi menjadi dua yaitu perubahan phisik dan perubahan pengetahuan dalam masyarakat. Perubahan phisik meliputi perubahan jumlah, dan komposisi penduduk secara kelahiran maupun migrasi; juga perubahan lingkungan phisik alam seperti gunung meletus, gempa bumi, dll yang dapat mengubah cara memahami dan mengintepretasikan pada diri manusia. Teknologi yang berasalah dari dalam masyarakat maupun dari luar dapat membuat sistem pengetahuan masyarakat mengalami pergeseran. Percampuran individu dari masayarakat yang berbeda budaya mengakibatkan interaksi anatar keduanya, sehingga menimbulkan pengaruh dan pergeseran terhadap kebudayaan masing-masing individu. Pengenalan unsur baru dapat mengubah masyarakat berupa perubahan hubungan sosial, struktur sosial, pranata sosial, dan perubahan budaya berupa pengetahuan, aturan, nilai, serta norma yang berlaku di masyarakat.
Penyesuaian diri atar budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diataranya faktor intern dan ekstern. Faktor intern menurut Brislin dalam Sulaeman (1995:33) adalah faktor watak (traits) dan kecakapan (skills). Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang.
Kecakapan atau skills menyangkut segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan  budaya yang akan dimasuki seperti bahasa, adat istiadat, tata krama, keadaan geografis, keadaan ekonomi, situasi politik, dan sebagainya
Faktor ekstern yang berpengarhterhadap penyesuaian diri diantara budaya adalah besar kecilnya perbedaan anatara kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan yang dimasuki, peerjaan yang dilakukan, dan Susana lingkungan tempat ia bekerja.

2.2.1 Gegar Budaya
Erlina (2013) menjelaskan bahwa Culture shock atau biasa disebut gegar budaya adalah disorientasi pribadi seseorang mungkin merasa ketika mengalami cara hidup yang asing karena imigrasi atau kunjungan ke daerah baru, atau untuk bergerak antara lingkungan sosial juga perjalanan sederhana untuk kehidupan yang lain. Salah satu penyebab paling umum dari gegar budaya melibatkan individu di lingkungannya yang asing. Dimana Culture shock merupakan suatu bentuk ketidakmampuan seseorang menyerap budaya yang berlaku sehingga bertentangan dengan budaya yang ada di masyarakat. Di Indonesia sendiri telah banyak counter culture (budaya penanding). Meskipun tersembunyi, budaya tersebut terus mempunyai eksistensi dan pendukung yang cukup banyak. Dalam kaitannya terhadap pariwisata dapat dilihat dari kebiasaan orang Indonesia yang pada awalnya terbiasa mengkonsumsi nasi sebagai makanan sehari-hari kemudian beralih kepada makanan fastfood atau kebiasaan orang Indonesia yang terbiasa dengan berkumpul dengan tetangga atau sanak keluarga di lingkungan sekitar tempat tinggal dan kemudian berpindah untuk berkumpul di cafe-cafe atau sejenisnyalah yang lambat laun akan menjadikan pribadi individualisme.
Culture shock terjadi ketika budaya kita berhadapan dengan cara berpikir yang berbeda atau cara melakukan sesuatu yang berbeda. Ini merupakan bagian dari proses adaptasi budaya. Culture shock sangat wajar terjadi pada siswa pertukaran pelajar yang meninggalkan lingkungan asal mereka yang akrab untuk pergi hidup di negara baru.
Sulaeman (1995:32) menyatakan bahwa selain culture shock terdapat pula peristiwa perubahan kebudayaan yang lain seperti cultural lag, cultural survival, dan cultural conflict.
Cultural lag (ketinggalam kebudayaan) adalah perbedaan anatara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Selang waktu anatara saat benda itu diperkenalkan pertamakali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri dengannya. Suatu lag  terjadi apabila irama perubahan dari dua unsur perubahan memiliki korelasi yang tak sebanding sehingga salah satu unsur tertinggal. Cultural lag  terjadi karena adanya ahsil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru dan berlawanan dengan hukum lama.
Cultural survival adalah suatu konsep yang dipakai untuk menggambarkan praktik yang telah kehilangan fungsi pentinganya, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya ada dalam landasan adat-istiadat.
Cultural conflict atau pertentangan kebudayaan yang muncul akibat dari relatifnya kebudayaan atau konflik kebudayaan. Faktor yang menimbulkan konflik kebudayaan adalah keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya.

2.2.2 Proses Penyesuaian Budaya
Sulaeman (1995:32) menjelaskan bahwa ada empat tahap yang membentuk siklus culture shock dalam proses penyesuaian budaya:
1.      Tahap pertama disebut masa bulan madu atau inkubasi. Ini adalah waktu ketika siswa masih menemukan segalanya sebagai hal baru dan menarik.
2.      Tahap kedua disebut krisis atau masa frustasi yang di tandai dengansuatu perasaan dendam. Pada masa ini, kebaruan pengalaman mulai luntur dan banyak perbedaan budaya mulai nampak.
3.      Tahap ketiga disebut kesembuhan atau tahap evaluasi. Siswa akan mulai mengevaluasi budaya baru dan budaya dari tempat asalnya. Setelah memeriksa budaya baru, siswa memutuskan apa yang harus diubah, dipertahankan dan dibuang sama sekali. Dibutuhkan waktu untuk melewati tahap ini, namun hasilnya sungguh signifikan bagi perkembangan pribadi siswa dan tentunya bagi anda dan anggota keluarga anda.
4.      Tahap terakhir adalah proses adaptasi. Penting untuk dicatat bahwa adaptasi budaya tidak memiliki tenggat waktu yang jelas. Tahapan yang berbeda dapat berlangsung dari beberapa minggu hingga beberapa bulan. Tahapan mungkin tumpang tindih atau berulang. Proses belajar dan beradaptasi dengan budaya baru terus berlanjut sejak saat siswa tiba sampai program berakhir.
Komunikasi adalah kunci ketika berhadapan dengan siswa pertukaran pelajar. Oleh karena itu, dapat sangat membantu untuk duduk dengan siswa dan menanyakan langsung kepada mereka apa yang salah ketika Anda menemukan mereka mengisolasi diri atau memiliki kesulitan dengan aturan rumah dan norma-norma budaya.

2.2.3 Reaksi Individu
        
2.2.4 Etnosentrisme
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain. Apabila tidak dikelola dengan baik, perbedaan budaya dan adat istiadat antarkelompok masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik sosial akibat adanya sikap etnosentrisme. Sikap tersebut timbul karena adanya anggapan suatu kelompok masyarakat bahwa mereka memiliki pandangan hidup dan sistem nilai yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Siany dalam Mulyadi (2012) memberikan Contoh Etnosentrisme di Indonesia. Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain. Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata dalam Mulyadi (2012), carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas, konsep carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak masuk akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat. Oleh karena itu, terjadi perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara masyarakat Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak adanya pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok tersebut dalam masyarakat Madura. Contoh etnosentrisme dalam menilai secara negatif konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak ditentang oleh para ahli ilmu sosial.
Contoh yang lain adalah kebiasaan memakai koteka bagi masyarakat papua pedalaman. Jika dipandang dari sudut masyarakat yang bukan warga papua pedalaman, memakai koteka mungkin adalah hal yang sangat memalukan. Tapi oleh warga pedalaman papua, memakai koteka dianggap sebagai suatu kewajaran, bahkan dianggap sebagai suatu kebanggan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments