TES KEBAHASAAN BUKU TEKS PEMBELAJARAN
1.
Konsep Dasar Kebahasaan Buku Teks Pembelajaran
Arikunto dalam Iskandarwassid dan Dadang
(2008:179—180) menyatakan bahwa tes adalah suatu alat atau prosedur yang
sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau keterangan-keterangan
yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan
cepat. Nurkancana menyatakan bahwa tes adalah suatu cara untuk mengadakan
penilaian yang berbentuk suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus
dikerjakan oleh anak atau sekelompok anak sehingga menghasilkan suatu nilai
tentang tingkah laku atau prestasi anak tersebut, yang dibandingkan dengan nilai
yang dicapai anak-anak lain atau dengan nilai standar yang ditetapkan. Apabila
dikaitkan dengan pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas, maka tes adalah
suatu alat yang digunakan oleh pengajar untuk memperoleh informasi tentang
keberhasilan peserta didik dalam memahami suatu materi yang telah diberikan
oleh pengajar. Menurut Djiwandono (2008:12), tes bahasa adalah suatu alat atau
prosedur yang digunakan dalam melakukan penilaian dan evaluasi pada umumnya
terhadap kemampuan bahasa dengan melakukan pengukuran terhadap kemampuan
bahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
2.
Karakteristik/Ciri-Ciri Tes Kebahasaan Buku Teks Pembelajaran
Syarat-syarat tes yang baik yaitu
tes dapat menunaikan fungsinya dalam umpan balik kepada penyelenggaraan pembelajaran
apabila sesuai (valid) dengan kemampuan yang menjadi sasaran tes, memberikan hasil
yang dapat diandalkan (reliable) dan secara teknis dapat dilaksanakan tanpa
terlalu banyak kesulitan (praktis).
Validitas, secara lebih tepat
menunjuk pada kesamaan atau setidak-tidaknya kesesuaian, antara tes dan hasil
interpretasi tes. Tes kemampuan membaca hanya valid, relevan, cocok, sesuai
untuk pengukuran kemampuan membaca dan tidak untuk kemampuan berbicara atau
kemampuan lainnya.
Reliabilitas sebagai alat ukut yang
hasil pengukurannya digunakan untuk membuat berbagai keputusan terpenting.
Sebuah tes dikatakan reliabilitas apabila skor yang dihasilkan hasil pengukuran
kosisten, tidak berubah-ubah, dapat dipercaya karena tetap dan tidak berubah
secara mencolok.
3.
Hubungan Tes Kebahasaa dengan Buku Teks Pembelajaran
4.
Jenis - Jenis Tes Kebahasaan
Menurut Ibrahim dan Nana
(2003:89—92), keahlian dan kecakapan menyusun soal tes merupakan pernyataan
mutlak yang harus dimiliki setiap pengajar. Pemilihan dan pemakaian soal yang
baik dan tepat akan diperoleh gambaran prestasi siswa yang sesungguhnya.
Demikian pula sebaliknya, dengan soal yang tidak tersusun dengan baik dan
tepat, tidak akan diperoleh gambaran tentang prestasi siswa yang sesungguhnya.
1.
Tes Subjektif
Tes subjektif berupa uraian
bertujuan untuk mengukur kemampuan peserta didik menguraikan apa yang terdapat
dalam pikirannya tentang sesuatu masalah yang diajukan guru. Tes bentuk uraian
terbagi atas dua jenis:
a.
Uraian bebas,
yakni tes yang soal-soalnya harus dijawab dengan uraian secara bebas. Kelemahan
bentuk tes ini adalah sukar menentukan standar jawaban yang benar sebab jawaban
peserta didik sifatnya beranekaragam.
Contoh: Masalah dan kesulitan apa saja yang mungkin harus dihadapi
dalam penerapan Pengajaran bahasa Indonesia dengan Pendekatan Kontekstual di
Indonesia?
b.
Uraian
terbatas, yakni tes yang soalnya menuntut jawaban dalam bentuk uraian yang
lebih terarah. Tes uraian jenis kedua ini lebih mudah memeriksanya, karena
dapat (lebih mudah) ditetapkan standar
jawaban yang benar. Contoh:
Sebutkan ciri-ciri kata kerja (verba)!
2.
Tes Objektif
Tes objektif sangat beragam
jenisnya. Setiap jenis memiliki nilai kegunaan masing-masing sesuai dengan
maksud dan tujuan diadakannya evaluasi. Tes objektif adalah tes yang
penskorannya dapat dilakukan dengan tingkat objektivitas yang tinggi. Penilaian
satu peserta didik tidak akan berbeda bila seandainya penilaian dilakukan
beberapa korektor.
a.
Tes Benar –
Salah (True-False Test)
Soal ini dibuat
dalam bentuk pernyataan. Tugas peserta didik adalah membaca dan menetapkan
apakah pernyataan itu benar atau salah. Agar tidak terjadinya kekacauan dalam
menentukan pilihan, soal tes hendaknya secara tegas membedakan benar dan
salahnya suatu pernyataan berdasarkan konsep tertentu. Contoh tes benar-salah
berdasarkan pendapat Djiwandono (2008:39) dalam tes menyimak sebagai berikut.
Terdapat
beberapa puluh bahasa di Indonesia
B S
Di samping
bahasa daerah, bahasa Indonesia
B S
b.
Tes Pilihan Ganda
(Multiple-Choice Test)
Bentuk soal ini
menyediakan sejumlah kemungkinan jawaban, satu di antaranya adalah jawaban yang
benar. Tugas peserta didik adalah memilih jawaban yang benar itu dari sejumlah
kemungkinan (options) yang tersedia.
Contoh: Pilihlah satu kemungkinan jawaban yang benar dengan
memberikan tanda silang (x) pada pilihan a, b, c, atau d yang terdapat di depan
jawaban tersebut.
Mengapa hari
ini Tutik tidak pergi ke sekolah?
a. Dia sedang
sakit c. Dia
mengira hari ini libur
b. Dia pergi ke
luar kota d. Dia terlambat bangun.
c.
Tes Menjodohkan
(Matching Test)
Dalam tes ini,
peserta didik diminta menjodohkan atau mencocokkan secara tepat setiap butir soal dengan
pasangannya pada kemungkinan jawaban. Tes menjodohkan tersusun dalam bentuk dua
deretan butir tes. Deretan pertama terdiri dari pertanyaan atau pernyataan atau
sekedar kata-kata lepas. Deretan kedua, yang biasanya terletak di sebelah kanan
deretan pertama, terdiri dari jawaban dari pertanyaan atau bagian dari
pernyataan.
Contoh: Jodohkan kata-kata
di deretan kiri dengan kata-kata di deretan kanan yang merupakan pasangannya.
Bagian A Bagian B
Filipina a. Bangkok
Malaysia b. Manila
Muangthai c. Beijing
d.
Tes Melengkapi
Tes ini terdiri dari serangkaian
pernyataan/paragraf yang dihilangkan sebagian unsurnya, sehingga tidak lengkap.
Peserta didik diminta melengkapi kalimat atau paragraf tersebut.
Contoh: Kata yang menyatakan makna perbuatan dan pekerjaan disebut
…………
5.
Pendekatan Tes Kebahasaan
a.
Pendekatan
Diskert
Menurut Oller (1979), tes diskret adalah suatu tes yang hanya
menekankan satu aspek kebahasaan (misalnya tatabahasa) pada satu waktu. Kemampuan
yang akan diukur adalah tunggal atau satu komponen saja. Teste dalam menjawab
suatu butir pertanyaan tidak mempbutuhkan berbagai kemampuan secara integrative
atau simultan.
Menurut Merrow, istilah lain yang semakna dengan tes diskret adalah
tes atomistic. Tes atomistic mengukur butir-butir spesifik, misalnya
tatabahasa, bunyi dan kosa kata yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan
penggunaan bahasa nyata.
Pandangan ilmu bahasa struktural, bahasa dipahami sebagai sesuatu
yang memiliki struktur yang demikian rapi seperti suatu bangunan buatan
manusia. Dalam pandangan bahasa struktural ini, wacana sebagai wujud penggunaan
bahasa yang luas cakupannya, dipahami sebagai suatu yang terdiri dan tersusun
dari wacana yang lebih kecil dalam bentuk paragraf dan kalimat. Kalimat
dipahami sebagai terdiri dari frasa. Frasa terdiri dari kata-katak. Kata-kata
terdiri dari suku kata. Suku kata terdiri dari morfem. Morfem terdiri dari
alomorf. Alomorf terdiri dari fonem, dan demikian seterusnya. Pendekkata
menurut pandangan struktural setiab bagian dari bahasa itu dapat
dipisah-pisahkan menjadi bagian yang lebih kecil. Demikian juga dengan berbagai
aspek kebahasaan( tata bahasa).
Sebagai bagian dari penerapan kajian ilmu bahasa struktural, bahasa
dalam tes bahasa diskret dipahami sebagai sesuatu yang berstruktur dan terdiri
dari bagian-bagian yang bersama-sama membentuk suatu entitas yang disebut
bahasa. Bagian-bagian bahasa sampai yang terkecil itu dapat diidentifikasi
secara terpisah dan tersendiri atau diskret, baik dalam pelaksanaan
pembelajaran maupun penyelenggaraan tes yang diskret (discrate-point testing). Tes
pendekatan diskret, satu butir tes dimaksudkan untuk mengukur hanya satu unsur
komponen bahasa. Tes bahasa yang diskret terdiri dari butir-butir tes yang,
yang secara terpisah di luar konteks, menugaskan peserta tes untuk membedakan
satu bunyi bahasa dari bunyi bahasa yang lain, melafalkan satu bunyi bahasa
tertentu, menyebutkan lawan kata dari satu kata tertentu (menang atau kalah),
bentuk jamak daru suatu kata benda ( bentuk jamak dari rumah adalah
rumah-rumah), dan lain-lain. Dewasa ini penerapan pendekatan diskret dalam penyelenggaraan
tes tidak banyak ditemukan, terutama karena validitas yang dipersoalkan maupun
nilai kepraktisan dan tingkat kebutuhannya. Penerapan tes bahasa atas dasar
pendekatan diskret ini mungkin masih dapat dipahami dan ditemukan pada sejumlah
bentuk pembelajaran bahasa oleh calon pengajar bahasa, khususnya bahasa asing.
Pendekatan diskret ini diterapkan atas dasar konvensional terhadap
keempat aspek kebahasaan (menyimak, membaca, menulis, berbicara) dan empat
komponen bahasa (bunyi bahasa, struktur bahasa, kosakata, dan kelancaran
bahasa).
b.
Pendekatan
Integratif
Tes integratif mempunyai landasan teori linguistik yang sama dengan
tes diskret. Tes integratif terdapat penggabungan dari bagian-bagian terkecil
pada suatu butir tes (Djiwandono, 1979).
Pendekatan integratif lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di mana
kemampuan dan unsur bahasa pada umumnya tidak diperlakukan secara
terpisah-pisah. Penggunaan bahasa senyatanya kemampuan dan unsur bahasa
digunakan dalam wacana yang merupakan gabungan dari beberapa jenis kemampuan
atau unsur bahasa. Bila dalam pendekatan diskert bahasa seolah-olah dipisahkan
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sampai pada bagian terkecil, pendekatan
integratif dapat dipandang sebagai penyatuan bagian-bagian itu kembali menjadi lebih
utuh. Seberapa lebih utuh penggabungan itu tergantung pada berapa banyak bagian
kemampuan dan komponen bahasa yang perlu saling digabungkan untuk menjawab
butir-butir tes yang diselenggarakan.
Menurut Nurgiyantoro (1989), yang termasuk tes integrative baik
yang menyangkut aspek kebahasaan maupun keterampilan berbahasa adalah menusun
kalimat, mansfsirkan wacana singkat yang dibaca atau didengar, memahami bacaan
yang dibaca atau didengar, dan meyusun sebuiah alinea berdasarkan kalimat-kalimat
yang disediakan.
Butir tes kosakata seperti “baik x …….” (dibaca: lawan kata baik
adalah…..) pada dasarnya bersifat diskert karena digunakan secara lepas. Jika
pernyataan yang sama itu dikemas dalam kalimat “orang itu sangat baik,
sedangkan saudaranya…...), butir tes yang semula diskert berubah menjadi
integratif karena digunakan dalam kaitannya dalam unsur-unsur bahasa lain. Kemampuan
menemukan jawaban berupa kata jahat tidak semata-mata dimungkinkan oleh
pengetahuan tentang kosakata baik dan jahat, tetapi dipermudah oleh pengetahuan
tentang kosakata orang itu dan saudaranya. Tercermin bahwa kemampuan menjawab
butir tes tersebut tidak sekedar mengandalkan penguasaan unsur kosakata,
melainkan melibatkan pula penguasaan unsur bahasa lain, yaitu susunan kata-kata
yang merupakan bagian dari tata bahasa.
Ciri pendekatan integratif yang melibatkan lebih dari satu unsur
merupakan penggabungan lebih dari satu jenis kemampuan atau komponen bahasa.
Pada penggunaan bahasa senyatanya, termasuk dalam mengerjakan tes, penggabungan
unsur bahasa pada pendekatan integratif bahkan dapat bersifat jauh lebih luas
dan menyeluruh, menyangkut penggunaan bahasa dalam komunikasi secara
keseluruhan.
c.
Pendekatan
Pragmatif
Pendekatan pragmatik awalnya digunakan dalam kaitannya dengan teori
tentang kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata bahasa pragmatik (
pragmatik expectancy grammar), atau kemampuan pragmatik. Kemampuan itu
merupakan kemampuan untuk memahami teks atau wacana, tidak hanya dalam konteks
linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan kemampuan pemahaman unsur-unsur
ekstra linguistik.
Seseorang tidak saja mengandalkan kemampuan linguistic dalam bentuk
pemahaman terhadap bentuk dan susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur
linguistik lain yang secara eksplisit terdapat dalam penggunaan bahasa.
Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam konteks ekstra linguistik
(exstralinguistic context), yaitu aspek-aspek pemahaman bahasa di luar apa yang
diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa, dan yang meliputi segala sesuatu
dalam bentuk kejadian, pikiran, antar hubungan, perasaan, persepsi, ingatan,
dan lain-lain.
Menurut Oller (1979), tes integratif belum tentu pragmatik,
meskipun tidak tertutup kemungkinan juga bersifat, tetapi tes pragmatik pasti
integratif. Dengan pengertian lain, tes bahasa pragmatik telah mempresentasikan
unsur-unsur tes integratif.
Kemampuan pemahaman yang diharapkan dapat disadap dalam tes
pragmatik, yang definisinya sebagai berikut :
i.
Prosedur atau
tugas yang menuntut pembelajaran untuk mencoba memahami rangkaian elemen
bahasa, yang tersusun dalam bentuk penggunaan bahasa dengan berbagai kendala
kontekstual yang secara alamiah dan wajar terdapat dalam penggunaan bahasa,
sehingga mengharuskan peserta tes untuk mengaitkan rangkaian elemen bahasa itu
dengan konteks di luar bahasa melalui pemetaan pragmatik.
ii.
Kendala alamiah
yang terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan pembaca (atau
pendengar) untuk mengolah dan memahami wacana itu dengan segala macam kendala,
yang bersifat linguistik maupun ekstralinguistik, yang secara alamiah selalu
mewarnai setiap wacana yang diungkapkan dan memahami hubungan-hubungan
pragmatik antara konteks linguistik dan ekstralinguistik.
Kendala yang bersifat linguistik berupa kurangnya pemahaman
terhadap susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata yang digunakan dalam
wacana. Sedangkan kendala ekstralinguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap
aspek-aspek diluar linguistik dalam bentuk abstraksi pengalaman hidup yang
diperlukan untuk memahami isi wacana yang tengah dihadapi.
Penerapan
pendekatan pragmatik dalam tes bahasa peling sering dikaitkan dengan tes cloze,
disamping dikte. Pada tahap ini beberapa ciri khas tes cloze dapat digunakan
sebagai sarana untuk mendeskripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti disebutkan
di atas. Pada umumnya tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira
400-500 kata. Kemudian ada beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk
menemukan dan menuliskan kata-kata yang sama dihapus berdasarkan teks yang
masih tertinggal tersebut, ditafsirkan sebagai ceminan dari kemampuan untuk
memahami teks secara keseluruhan berdasarkan kemampuan pragmatik yang meliputi
kemampuan memahami bacaan, susunan bacaan, tata bahasa, dan kosa kata
(kemampuan linguistik), serta pengetahuan tentang seluk-beluk bidang yang dibahas
dalam teks bacaan ( kemampuan ekstralinguistik ).
0 komentar:
Posting Komentar